Kamis, 17 Oktober 2013

Sindrom Guillain Barre



BAB I
PENDAHULUAN



1.1  Latar Belakang

Sindrom Guillain-Barre (SGB) adalah sindrom klinis yang ditunjukkan oleh onset akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit yang termasuk demielinasi dan degenerasi selaput myelim dari saraf perifer dan kranial (Ariani, 2012).
JAKARTA, KOMPAS.com Menurut  Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) Cabang Jakarta dr. Darma Imran, SpS (K), data RSCM pada akhir tahun 2010-2011 tercatat ada 48 kasus GBS dalam satu tahun dengan berbagai variannya. "Dibandingkan tahun sebelumnya memang terjadi peningkatan sekitar 10 persen," ucapnya saat acara jumpa pers, Jumat, (13/4/2012), di Jakarta.
Angka kejadiannya kurang lebih sekitar antara 0,5 sampai 1,5 setiap 100.000 penduduk dan ini angkanya hampir sama di seluruh negara, baik pada negara maju atau berkembang. Kasus GBS umumnya cenderung lebih banyak terjadi pada pria ketimbang wanita.

1.2  Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud dari Duallain-BarreSyndrome?
Bagaimana patofisiologi dar Guillain-Barre Syndrome?
Bagaimana asuhan keperawatan pada klien Guillain-Barre Syndrome?

1.3  Tujuan
Dapat mengetahui deskripsi tentang Guallain-Barre Syndrome
Dapat menjelaskan patofisiologi dari Guallain-Barre Syndrome
Dapat membuat asuhan keperawatan pada klien Guallain-Barre Syndrome

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi

Sindrom Guillain-Barre (SGB) adalah sindrom klinis yang ditunjukkan oleh onset akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit yang termasuk demielinasi dan degenerasi selaput myelim dari saraf perifer dan kranial (Ariani, 2012).
Sindrom Guillain-Barre terjadi dengan frekuensi yang sama pada kedua jenis kelamin dan pada semua ras. Puncak yang agak tinggi terjadi pada kelompok usia 16-25 tahun, tetapi mungkin juga perkembangan setiap golongan usia. Sekitar setengah dari korban mempunyai penyakit febris ringan 2-3 minggu sebelum onset. Infeksi febris biasanya berasal dari pernapasan atau gastrointestinal (Ariani, 2012).
Sindrom Guillain-Barre adalah penyakit system saraf perifer yang ditandai dengan awitan mendadak paralisis atau paresis oto. Sindrom Guillain-Barre terjadi akibat serangan otoimun pada myelin yang membungkus saraf perifer. Dengan rusaknya myelin, akson dapat rusak. Gejala SGB menghilanh saat serangan otoimun berhenti dan akson mengali regenerasi. Apabila kerusakan badan sel terjadi selam serangan, beberapa derajat disabilitas dapat tetap terjadi. Walaupun penyebab SGB tidak diketahui, penyakit ini biasanya terjadi 1-4 minggu setelah infeksi virus atau imunisasi (Corwin,2009).
Otot estermitas bawah biasanya terkena pertama kali, dengan paralisis yang berkembang kea ta tubuh. Otot pernapasan dapat terkena, yang menyebabkan kolabs pernapasan. Fungsi kardiovaskuler dapat terganggua karena gangguan fungsi saraf otonom (Corwin,2009).




2.2 Etiologi

Penyebab belum diketahui, tetapi respon alergi atau respon autoimun sangat mungkin sekali. Beberapa peneliti berkeyakinan bahwa syndrome tersebut mempunyai asal virus, tetapi yidak ada virus yang dapat diisolasi sejauh ini (Ariani,2012).
Mekanisme patogenik mencakup demielinasiasi inflamasi dengan berbagai kerusakan akson pada system saraf perifer. Proses outoimun diperkirakan dipicu oleh berbagai agen(Ginsberg,2008).
Virus
Sitomegalivirus, virus Epstein-Barr, HIV
Bakteri
Mycoplasma pneumonia, Campylobacter jejuni
Vaksin
Contohnya untuk influenza babi

2.3 Manifestasi Klinis

Falsid, simetris dan paralisis asending dengan cepat berkembang. Otot pernapasan dapat saja terkena sehingga mengakibatkan insufisiensi pernapasan (Ariani,2012).
Gangguan otonomi seperti retensi urine dan hipotensi postural kadang terjadi. Reflek-reflek superfisial dan tendon dalam dapat hilang. Biasanya tidak terjadi kehilangan massa otot karena paralisis flasid dengan cepat. Ada pasien yang mengalami nyeri tekan dan nyeri pada tekanan dalam atau gerakan beberapa otot (Ariani, 2012).
Gejala-gejala paratesia termasuk semutan “jarum dan peniti” dan kebas dapat terjadi secara sementara. Jika saraf kranial terkena, maka saraf fasial (VII) lebih sering terserang. Tanda-tanda dan gejala- gejala disfungsi saraf fasial termasuk ketidak mampuan untuk tersenyum, bersiul, dan cemberut. Guillan-Barre tidak mengenai LOC (tingkat kesadaran), tanda-tanda pupil, atau fungsi serebral(Ariani,2012).
Gejala-gejala biasanya memuncak dalam satu minggu, tetapi dapat berkembang selama beberapa minggu. Tingkat paralisis dapat saja berhenti setiap saat. Fungsi motoric kembali dalam gaya desending. Demielinisiasi terjadi dengan cepat, tetapi kecepatan remielinisasinya hanya sekitar 1-2 mm/hari (Ariani, 2012).

2.4 Patofisiologi

Pada SGB, selaput myelin yang mengelilingi akson hilang. Selaput myelin cukup rentan terhadap cedera karena banyak agen dan kondisi, termasuk trauma fisik, hipoksemia, toksik kimia, insufisiensi vascular, dan reaksi imunologi. Demielinasi adalah respon umum dari jaringan saraf terhadap banyak kondisi yang merugikan ini (Ariani, 2012).
Akson bermyelin mengonduksi impuls saraf lebih cepat dibanding akson tidak bermyelin. Sepanjang perjalanan serabuut bermyelin terjadi gangguan dalam selaput (nodus Ranvier) tempat kontak langsung antara membrane sel akson dengan cairan ekstraseluler. Membran pada nodus sangat permeable sehingga konduksi menjadi baik. Gerakan ion-ion masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat hanya pada nodus Ranvier sehingga impuls saraf sepanjang serabut bermyelin dapat melompat dari satu nodus ke nodus lain (konduksi saltatori) dengan cukup kuat. Kehilangan selaput myelin pada sindrom Guillain-Barre membuat koneksi saltatori tidak mungkin terjadi dan transmisi impuls saraf dibatalkan (Ariani,2012).














 














2.5 Komplikasi
2.5.1 Gagal Pernapasan
Komplikasi yang paling berat dari SGB adalah gagal napas. Melemahnya otot pernapasan membuat pasien dengan gangguan ini berisiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang. Disfasgia juga dapat timbul, mengarah pada aspirasi. Mungkin terdapat komplikasi yang sama tentang imobilitas seperti yang terdapat pada korban stroke.

2.5.2 Penyimpangan Kardiovaskuler
Mungkin terjadi gangguan system saraf otonom pada pasien SGB yang dapat mengakibatkan disritmia jantung atau perubahan drastic dalam tanda-tanda vital yang dapat mengancam kehidupan.

2.5.3 Komplikasi Plasmaferesis
Pasien dengan SGB yang menerima plasmaferesis berisiko terhadap potensial komplikasi karena prosedur tersebut. Infeksi mungkin terjadi pada tempat akses vascular. Hipovolemi dapat mengakibatkan hipotensi, takikardia, pening dan diforesis. Hipovolemia dan hipokalsemia dapat mengarah pada disritmia jantung. Pasien dapat mengalami sirkumolar temporer dan paresis ekstremitas distal, kedutan otot, dan mual serta muntah yang berhubungan dengan pemberian plasma sitrat. Pengamatan dengan cermat dan pengkajian penting untuk mencegah masalah-masalah ini (Ariani,2012).

2.6 Penatalaksanaan
Tujuan utama dalam merawat pasien dengan SGB adalah untuk memberiakn pemeliharaan fungsi system tubuh, dengan cepat mengatasi krisis-krisis yang mengancam jiwa, mencegah infeksi dan komplikasi imobilitas, dan memberikan dukungan psikologis untuk pasien dan keluarga.



2.6.1 Dukungan Pernapasan dan Kardiovaskuler
Jika dukungan askular pernapasan terkena, maka mungkin dibutuhkan ventilasi mekani. Mungkin perlu dilakukan trakeostomi jika pasien tidak dapat disapih dari ventilator dalam beberapa minggu. Gagal pernapsan harus diantisipasi sampai kemajuan gangguan merata karena tidak jelas sejauh apa paralisis akan terjadi (Ariani,2012).
Jika system otonom yang terkena, maka akan terjadi perubahan drastic dalam tekanan darah (hipotensi dan hipertensi) serta frekuensi jantung akan terjadi. Oleh karena itu, pasien harus dipantau dengan ketat. Pemantauan jantung akan memungkinkan disritmia teridentifikasi dan diobati dengan cepat. Gangguan system saraf otonom dapat dipicu oleh valsavah maneuver, batuk, penghisapan, dan perubahan posisi sehingga aktivitas-aktivitas ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati.

2.6.2 Plasmaferesis
Plasmaferesis dapat digunakan untuk SGB untuk menyingkirkan antibody yang membahayakan  dari plasma.plasma pasien dipisahkan secara selektif dari darah lengkap, dan bahan- bahanabnormal dibersihkan. Atau plasma diganti dengan pengganti koloidal. Banyak pusat pelayanan kesehatan mulai melakukan penggantian plasma ini jika didapai keadaan pasien memburuk dan kemungkinan tidak akan dapat pulang kerumah dalam 2 minggu, mendekati waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proses  penggantian plasma. Jika plasmaferesis dimulai 3 minggu atau lebih lama setelah onset gejala, tampaknya tindakan  ini tidak efektif. Mungkin digunakan kortikosteroid, meskipun penggunaan ini masih kontroversial.

2.6.3 Nyeri
Penatalaksanaan nyeri dapat menjadi bagian dari perhatian pada pasien dengan SGB. Nyeri otot hebat biasanya menghilang sejalan dengan pulihnya kekuatan otot. Unit stimulasi listrik transkutan dapat berguna pada beberapa obat dapat memberikan penyembuhan sementara. Nyeri biasanya memburuk antar pukul 10 malam dan 4 pagi, mencegah tidak tidur, dan narkotik dapat saja digunakan secara bebas pada malam hari jika pasien tidak mengkompensasi secara marginal karena narkotik dapat meningkatkan gagal pernapasan. Dalam kasus ini, pasien biasanya diintubasi dan kemudian diberikan narkotik (Ariani, 2012).

2.6.4 Nutrisi
Nutrisi yang adekuat harus dipertahankan. Jika pasien tidak mampu untuk makan per oral, dapat dipasang selang per oral. Selang makan, bagaimanapun, dapat menyebabkan diare dan menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit, jadi dibutuhkan pemantauan dengan cermat oleh dokter dan perawat (Ariani, 2012).

2.6.5 Gangguan Tidur
Gangguan tidur dapat menjadi masalah berat untuk pasien dengan gangguan ini, terutama karena nyeri tampak meningkat pada malam hari. Tindakan yang memberikan kenyamanan, analgesic, dan control lingkungan yang cermat (misalnya: mematikan lampu, memberikan suasana ruangan yang tenang) dapat membantu untuk meningkatkan tidur dan istirahat. Selain itu, juga harus selalu diingat bahwa pasien yang mengalami paralisis dan mungkin pada ventilasi mekanik dapat sangat ketakutan sendiri pada malam hari, karena ketakutan tidak mampu mendapat bantuan jika ia mendapat masalah. Harus disediakan cara atau lampu pemanggil sehingga pasien mengetahui bahwa ia dapat meminta bantuan. Membuat jadwal rutin pemeriksaan pasien juga dapat membantu mengatasi ketakutan (Ariani, 2012).

2.6.6 Dukungan Emosional
Ketakutan, ketidakpuasan dan ketidakberdayaan semua dapat terlihat pada pasien dan keluarga sepanjang terjadinya ganggguan. Penjelasan yang tertur tentang intervensi dan kemajuan dapat sangat berguna. Pasien harus diperlukan untk membuat keputusan sebanyak mungkin sepanjang perjalanan pemulihan (Ariani,2012).
Kadang pasien seperti sangat sulit untuk dirawat karena mereka membutuhkan banyak waktu perawat. Mereka menggunakan bel pemanggil secara berlebih jika merasa tidak aman, mengetahui bahwa ada seseorang yang dapat menjadi sumber informasi dengan konsisten. Pertemuan tim dengan pasien dan keluarga harus dilakukan secara rutin untuk membicarakan kemajuan dan rencana-rencana (Ariani,2012).

2.7 Pengkajian
Pengkajian perawtan klien dengan GBS meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostic, dan pengkajian psikososial (Muttaqin,2008).
Pengkajian terhadap komplikasi GBS meliputi pemantauan terus-menerus terhadap ancaman gangguan gagal napas akut yang mengancam kehidupan. Komplikasi lain mencakup disritmia jantung, yang terlihat memulai pemantauan EKG dan mengobservasi klien terhadap tanda thrombosis vena provunda dan emboli paru, yang sering mengancam klien imobilitas dan paralisis (Muttaqin,)

2.7.1 Anamnese
Keluhan utama yang sering menjadi alas an klien meminta pertolongan kesehatan adalah berhubungan dengan kelemahan otot baik kelemahan fisik secara umum maupun lokalis seperti melemahnya otot-otot pernapasan (Muttaqin,2008).

2.7.2 Keluhan Utama
Sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan berhubungan dengan kelemahan otot baik kelemahan fisik secara umum mupun seperti melemahnya otot-oto pernapasan (Muttaqin,2008).




2.7.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Factor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena menunjang keluhan utama klien. Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti mulai kapan serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada pengkajian klien Guillain-Barre syndrome (GBS) biasanya didapatkan keluhan yang behubungan dengan proses demielinasiasi. Keluhan tersebut diantaranya gejala-gejala neurologis diawali dengan parestesia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstermitas atas, batng tubuh dan otot wajah. Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang tepat.
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan merupakan komplikasi yang paling berat dari GBS adalah gagal napas. Melemahnya otot pernapasan membuat klien dengan gangguan ini berisiko lebi tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang. Disfagia juga dapat timbul, mengarah pada aspirasi. Keluhan kelemahan ekstermitas atas dan bawah hampir sama seperti keluhan klien yang terdapat pada klien stroke. Keluhan lainnya adalah kelainan dari fungsi kardivaskuler, yang memungkinkan terjadinya gangguan system saraf otonom pada klien GBS yang dapat mengakibatkan disritmia jantung atau perubahann drastic yang dapat mengancam kehidupan dalam tanda-tanda vital (Muttaqin,2008).

2.7.4 Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan utama sekarang meliputi pernahkah klien mengalami ISPA, infeksi gastrointestinal. Dan tindakan bedah saraf.
Pengkajian pemakaian obat-obatan yang sering digunakan klien, seperti pemakaian obat kortikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotic dan reaksinya (untuk menilai resisten pemakaian antibiotik) dapat menambah komprehensif pengkajian. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya (Muttaqin, 2008).

2.7.5 Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien GBS meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktvitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme kopin yang secara sadar biasa digunakan klien selama masa stress meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stress.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif perawatan dalam mengkaji terdiri dari dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh deficit neurologis dalam hubungannya dengan peran social klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis di dalam system dukungan indivisu (Muttaqin, 2008).

2.7.6 Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamsesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk endukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sisten (B1-B6) dengan focus pemerikasaan fisik pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
Pada klien GBS biasanya didapatkan suhu tubuh normal. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-tanda penurunan curah jantung. Peningkatan frekuensi pernapasan berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan adanya infeksi pada system pernapasan dan adanya akumulasi secret akibat insufisiensi pernapasan. TD didapatkan ortostatik hipotensi atau TD meningkat (hipertensi transien) berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis (Muttaqin, 2008).
1.      B1 (Breatiing)
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan karena infeksi saluran pernapasan dan yang paling sering didapatkan pada klien GBS adalah penurunan frekuensi pernapasan karena melemahnya fungsi otot-otot pernapasan. Palpasi biasanya taktik premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti rokhi pada klien dengan GBSA berhubungan akumulasi secret dari infeksi saluran napas (Muttaqin, 2008).
2.      B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskular pada klien GBS didapatkan bradikardi yang berhubungan dengan penurunan perfusi perifer. TD didapatkan ortostatik hipotensi atau TDA meningkat (hipertensi transien) berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis (Muttaqin, 2008).
3.      B3 (Brain)
Pengkajian B3 merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada system lainnya (Muttaqin, 2008).

2.7.7 Tingkat Kesadaran
Pada GBS biasanya kesadaran lien compos mentis (CM). apabila klien, memgalami penurunan tingkat kesadaran maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan (Muttaqin, 2008).



2.7.8 Fungsi Serebri
Status  mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilainya gaya bicara klien dan observasi ekpresi wajah, dan aktivitas motoric yang pada klien GBS tahap lanjut disertai penurunan tingkat kesadaran biasanya status mental klien mengalami (Muttaqin, 2008).
2.7.9 Pemeriksaan Saraf Kranial
Saraf I. biasanya pada klien GBS tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada kelainan
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Saraf III, IV, dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan menutup kelopak mata, paralisis ocular.
Saraf V. Pada klien GBS didapatkan paralisis pada otot wajah sehingga mengganggu proses mengunyah.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena adanya paralisis unilateral.
Saraf IX dan X. Paralisis otot orofaring, kesukaran berbicara, mengunyah, dan menelan. Kemampuan menelan kurang baik sehingga menggangggu pemenuhan nutrisi via oral.
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomatoideus dan trapezius. Kemampuan mobilisasi leher baik.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal (Muttaqin, 2008).

2.7.10 Sistem Motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada klien GBS tahap lanjut mengalami perubahan. Klien mengalami kelemahan motoric secara umum sehingga mengganggu meobilisasi (Muttaqin, 2008).

2.7.11 Pemeriksaan Refleks
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periosteum dan derajat reflex pada respon normal.
Gerakan involunter. Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, tic dan dystonia(Muttaqin, 2008)
.
2.7.2 Sistem Sensorik
Parestesia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot kaki,yang dapat berkembang ke ekstermitas atas,batang tubuh, dan otot wajah. Klien mengalami penurunan kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu (Muttaqin, 2008).
1.      B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada system kandung kemih biasanya didapatkan berkurangnya volume haluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal (Muttaqin,2008).
2.      B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengna peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien GBS menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang (Muttaqin, 2008).
3.      B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain (Muttaqin, 2008).

2.8 Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis GBS sangat bergantung pada riwayat penyakit dan perkembangan gejala-gejala klinik dan tidak ada satu pemeriksaan pun yang dapat memastikan GBS; pemerksaan tersebut hanya menyingkirkan dugaan gangguan.
Lumbal pungsi dapat menunjukkan kadar protein normal pada awalnya dengan kenaikan pada 4 minggu sampai ke 6. Cairan spinal memperlihatkan adanya peningkatan konsentrasi protein dengan menghitun jumlah sel normal.
Sekitar 25%orang dengan penyakit ini mempunyai antibody baik terhadap sitomegalovirus atau virus Epstein-Barr. Te;ah dirujukkan bahwa suatu peruhanan respon imun pada antigen saraf perifer dapat menunjang perkembangan gangguan (Muttaqin, 2008).
Diagnosis GBS sangat bergantung pada:
  1. Riwayat penyakit dan perkembangan gejala-gejala klinik.
  2. Pemeriksaan konduksi saraf mencatat transmisi impuls sepanjang serabut saraf. Pengujian elektrofisiologis diperlihatkan dalam bentuk lambatnya laju konduksi saraf.
  3. Uji fungsi pulmonal dapat dilakukan jika GBS terduga, sehingga dapat ditetapkan nilai dasar untuk perbandingan sebagai kemajuan penyakit. Penurunan kapasitas fungsi pulmonal dapat menunjukkan kebutuhan akan ventilasi mekanik (Muttaqin, 2008).

2.9 Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama merawat klien dengan GBS adalah memberikan pemeliharaan fungsi system tubuh, dengan cepat mengatasi krisis-krisis yang mengancam jiwa. Mencegah infeksi dan komplikasi imobilitas serta memberikan dukungan psikologi untuk klien dan keluarga.
GBS dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan klien diatasi di unit perawatan intensif. Klien yang menalami masalah pernapasan yang memerlukan ventilator, kadang-kadang untuk periode yang lama. Plasma feresis (perubahan plasma) yang menyebabkan reduksi antibiotic ke dalam sirkulasi sementara,  yang dapat digunakan pada serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada klien demielinisasi. Diperlukan pemantauan EKG  kontinu, unuk kemungkinan adanya perubahan kecepatan atau ritme jantung. Disritmia jantung disebabkan keadaan abnormal otonom yang diobati dengan propranolol untuk mencegah takikardia dan hipertensi. Atropine dapat diberikan untuk menghindari episode bradikardia selama pengisapan endotrakeal dan terapi fisik (Muttaqin, 2008).


2.10 Diagnosis Keperawatan
1.      Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan progessif cepat otot-otot pernapasan dan ancaman gagal napas
2.      Ketidakefektivan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi secret, kemampuan batuk menurun akibat penurunan kesadaran
3.      Risiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama dan konduksi listrik jantung
4.      Risiko deficit cairan dan hipovolemik
5.      Risiko gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan mengunyah dan menelan makanan
6.      Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular, penurunan kekuatan otot, dan penurunan kesadaran
7.      Cemas berhubungan dengan sakit dan prognosis penyakit yang buruk
8.      Koping individu dan keluarga tidak efektif berhubungan dengan prognosis penyakit, perubahan psikososial, perubahan persepsi kognitif, perubahan actual dalam struktur dan fungsi, ketidakberdayaan, dan merasa ada harapan

2.11 Rencana Asuhan Keperawatan
Tujuan utama asuhan keperawatan klien mencakup mempertahankan fungsi pernapasan, mencapai mobilitas, terpenuhinya kebutuhan nutrisi normal, mampu berkomunikasi, menurunnya ketakutan dan ansietas, dan tidak ada komplikasi.
1.      Pola napas tidak efektif b.d kelemahan progresif cepat otot-otot pernapasan dan ancaman gagal pernapasan
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah dilakukan tindakan pola napas kembali efektif
Kriteria hasil:
Subyektif: pasien mengatakan mampu bernapas dengan baik
Obyektif : sesak napas (-), RR 16-20x/mnt, tidak menggunakan otot bantu napas, gerakan dada normal

Intervensi
Rasional
Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas tambahan, perubahan irama dan kedalaman, penggunaan otot-otot aksesori.
Menjadi bahan parameter monitoring serangan gagal napas  dan menjadi data dasar intervensi selanjutnya.
Evaluasi keluhan sesak napas baik secara verbal dan non verbal.
Tanda dan gejala adanya kesukaran bernapas saat bicara, pernapasan dangkal dan irregular, menggunakan otot-otot aksesori, takikardia, dan perubahan pola napas.
Beri ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik digunakan jika pengkajian sesuai kapasitas vital, klien memperlihatkan perkembangan kea rah kemunduran, yang mengindikasi kea rah memburuknya kekuatan otot-otot pernapasan.
Lakukan pemeriksaan kapasitas vital pernapasan
Kapasitas vital klien dipantau lebih sering dan dengan interval yang teratur dalam penambahan kecepatan pernapasan dan kualitas pernapasan, sehingga pernapasan yang tidak efektif dapat diantisipasi. Penurunan kapasitas vital dihubungkan dengan kelemahan otot-otot yang digunakan saat menelan, sehinggahal ini menyebabkan kesukaran saat batuk dan menelan, dan adanya indikasi memburuknya fungsi pernapasan.
Kolaborasi;
Pemberian humidifikasu oksigen 3l/mnt
Membantu pemenuhan oksigen yang sangat diperlukan tubuh dengan kondisi laju metabolisme sedang meningkat.


2.      ketidakefektivan bersihan jalan napas b.d akumulasi secret, kemampuan batuk menurun akibat penurunan kesadaran
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan jalan napas kembali efektif
Kriteria hasil:
Subyektif : pasien mengatakan batuknya sudah tidak mengeluarkan secret
Obyektif : sesak napas (-), RR 16-20x/mnt, tidak menggunakan otot bantu napas, retraksi ICS (-), ronkhi (-/-), mengi (-/-), dapat mendemonstrasikan cara batuk efektif.
Intervensi
Rasional
Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas tambahan, perubahan irama dan kedalaman, penggunaan otot-otot aksesori, warna dan kekentalan sputum.
Memantau dan mengatasi komplikasi potensial. Pengkajian fungsi pernapasan dengan interval yang teratus adalah penting karena pernapasan yang tidaka efektif dan adanya kegagalan, karena adanya kelemahan atau paralisis pada otot-otot intercostal dan diafragma yang berkembang dengan cepat.
Atur posisi fowler dan semifowler
Peninggian kepala tempat tidur memudahkan pernapasan, meningkatkan ekspansi dada dan meningkatkan batuk lebih efektif.
Ajarkan cara batuk efektif
Klien berada pada risiko tinggi bila tidak dapat batuk dengan efektif untuk membersihkan jalan napas dan mengalami kesulitan dalam menelan, yang dapat menyebabkan aspirasi saliva dan mencetuskan gagal napas akut.
Lakukan fisioterafi dada;vibrasi dada
Terapi fisik dada membantu meningkatkan batuk lebih efektif.
Penuhi hidrasi cairan via oral seperti minum air putih dan pertahankan intake cairan 2500ml/hari.
Pemenuhan cairan dapat mengenncerkan mucus yang kental dan dapat membantu pemenuhan cairan yang banyak keluar dari tubuh.
Lakukan pengisapan lender di jalan napas.
Pengisapan mungkin diperlukan untuk mempertahankan kepatenan jalan napas menjadi bersih.

3.      Risiko tinggi penurunan curah jantung b.d perubahan frekuensi, irama dan konduksi listrik jantung
Tujuan : penurunan curah jantung tidak terjadi.
Kriteria hasil :
Subyektif: pasien mengatakan merasa lebih nyaman
Obyektif : stabilitas hemodinamik baik (tekanan darah dalam batas normal, curah jantung kembali meningkat,intake dan output sesuai, tidak menunjukkan tanda-tanda disritmia).
Intervensi
Rasional
Auskultasi TD, bandingkan kedua lengan, ukur dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri bila memungkinkan
Hipotensi dapat terjadi sampai dengan disfungsi ventrikel, hipertensi juga fenomena umum karena nyeri cemas pengeluaran katekolamin.
Evaluasi kualitas dan kesamaan nadi.
Penurunan curah jantung mengakibatkan menurunnya kekuatan nadi
Catat mumur.
Menunjukkan gangguan aliran darah dalam jantung, (kelainan katup, kerusakan septum, atau vibrasi otot papilar).
Pantau frekuensi jantung dan irama
Perubahan frekuensi dan irama jantung menunjukkan komplikasi disritmia.
Kolaborasi
Berikan O2, tambahan sesuai indikasi.
Oksigen yang dihirup akan langsung meningkatkan saturasi oksigen darah.

4.      Risiko deficit cairan dan hipovolemik
Tujuan : setelah dirawat selama 3 hari klien tidak terjadi komplikasi akibat penurunan asupan nutrisi
Kriteria hasil :
Subyektif: pasien mengatakan lebih segar
Obyektif : makan 3x sehari,
Intervensi
Rasional
Kaji kemampuan klien dalam pemenuhan nutrisi oral.
Perhatian yang diberikan untuk nutrisi yang adekuat dan pencegahan kelemahan otot karena kurang makanan
Monitor komplikasi akibat paralisis akibat insufisiensi aktivis parasimpatis
Illus paralisis dapat disebabkan oleh insufisiensi aktivitas parasimpatis. Dalam kejadian ini makanan melalui intravena dipertimbangkan diberikan diberikan oleh dokter dan perawat memantau bising usus sampai terdengar.
Berikan nutrisi via NGT
Jika klien tidak mampu menelan, makanan diberikan melalui selang lambung.
Berikan nutrisi via oral bila paralisis menelan berkurang
Bila klien dapa menelan, makanan melalui oral diberikan perlahan-lahan dan sangat hati-hati.

5.      Risiko gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan mengunyah dan menelan makanan
Tujuan : setelah perawatan 3hari lien tidak terjadi ko,plikasi dan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil :
Subyektif : klien mengatakan badannya terasa segar
Obyektif : BB dsb, nafsu stabil
Intervensi
Rasional
Kaji kemampuan klien dalam pemenuhan nutrisi oral.
Perhatian yang diberikan untuk nutrisi yang adekuat dan pencegahan kelemahan otot karena kurang makanan
Monitor komplikasi akibat paralisis akibat insufisiensi aktivitas parasimpatis
Ilius paralisis dapat disebabkan oleh insufisiensi aktivitas parasimpatis. Dalam kejadian ini, makanan melalui intravena dipertimbangkan diberikan oleh dokter dan perawat memantau bising usus dampai terdengar
Berikan nutrisi via NGT
Jika klien tidak mampu menelan, makanan diberikan melalui selang lambung
Berikan nutrisi via oral bila paralisis menelan berkurang
Bila klien dapat menelan, makanan melalui oral diberikan perlahan-lahan dan sangat hati-hati.



6.      Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular, penurunan kekuatan otot, dan penurunan kesadaran
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setalh dilakukan tindakan mobilitas klien meningkat atau teradaptasi.
Kriteria hasil:
Subyektif : pasien mengatakan sudah dapat beraktivtas
Obyektif : peningkatan kemampuan, tidak terjadi thrombosis vena provunda dan emboli paru dan tidak terjadi decubitus
Intervensi
Rasional
Kaji tingkat kemampuan klien dalam melakukan mobilitas fisik
Merupakan dasar untuk melakukan intervensi selanjutnya
Dekatkan alat dan sarana yang dibutuhkan klien dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari
Bila pemulihan mulai untuk dilakukan, klien dapat mengalami hipotensi ortostik(dari disfungsi otonom) dan kemungkinan membutuhkan meja tempat tidur untuk menoong mereka mengambil posisi dusuk tegak.
Hindari factor yang memungkinkan terjadinya trauma pada saat klien melakukan mobilisasi
Individu paralisis mempunyai kemungkinan mengalami kompresi neuropati, paling sering saraf ulnar dan peritoneal. Bantalan dapat di tempatkan di siku dan  kepala fibula untuk mencegah terjadinya masalah ini.
Sokong ekstermitas yang mengalami paralisis
Ekstermitas paralisis disokong dengan posisi fungsional dan memberikan pelatihan rentang gerak secara pasif paling sedikit dua kali sehari.
Monitor komplikasi gangguan mobilitas fisik
Deteksi awal thrombosis vena profunda dan decubitus sehingga dengan penemuan yang cepat penanganan lebih mudah dilaksanakan.
Kolaborasi dengan tim fisioterapis
Kolaborasi dengan ahli terapi fisik untuk mencegah deformitas kontraktur dengan menggunakan pengubahan posisi yang hati-hati dan latihan rentang gerak.

7.      Cemas berhubungan dengan sakit dan prognosis penyakit yang buruk
Tujuan : dalam watu 1x24 jam setelah dilakukan tindakan kecemasan berkurang
Kriteria hasil :
Subyektif : klien mengatakan paham dengan edukasi yang diberikan perawat dan merasa sudah nyaman
Obyektif : mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau factor yang mempengaruhi
Intervensi
Rasional
Bantu klien mengekspresikan perasaan marah, kehilangan dan takut
Cemas berkelanjutan memberikan dampak serangan jantung selanjutnya
Kaji tanda verbal dan nor verbal kecemasan, damping klien, dan lakukan tindakan bila menunjukkan perilaku merusak
Reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukkan rasa agrasi, mara dan gelisah.
Hindari konfrontasi
Konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja sama, dan mungkin memperlambat penyembuhan
Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan. Beri lingkungan tenang dan suasana yang penuh istirahat
Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu
Tingkatkan control sensasi klien
Control sensasi klien (dan dapat menurunkan ketakutan) dengan cara memberikan informasi tentang keadaan klien, menekankan pada penghargaan terhadap sumber-sumber koping (pertahan diri), yang positif, membantu latihan relaksasi, dan teknik-teknik penglihatan dan memberikan respons balik yang positif
Orientasi klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang diharapkan
Orientasi dapat menurunkan kecemasan
Beri kesempatan kepala klien untuk mengungkapkan kecemasannya
Dapat menghilngkan ketegangan terhadap kekhawatirna yang tidak diekspresikan
Berikan privasi untuk klien dan orang terdekat
Memberi waktu mengekspresikan perasaan, menghilangkan cemas, dan membentuk perilaku adaptasi.
Adanya keluarga dan teman-teman yang dipilih klien melayani aktivitas dan pengihatan (misalnya membaca) akan menurunkan perasaan terisolasi.

8.      Koping individu dan keluarga tidak efektif b.d prognosis penyakit, perubahan psikososial, perubahan persepsi kognitif, perubahan
Tujuan : dalam waktu 1x24 jam setelah intervensi harga diri klien meningkat
Kriteria hasil:
Subyektif : klien mengatakan interaksi dengan orang terdekat semakin membaik
Obyektif : mampu berkomunikasi dengan orang terdekat tentang situasi dan perubahan yang sedang terjadi, mampu menyatakan meneriam terhadap situasi, mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam konsep diri
Intervensi
Rasional
Kaji perubahan ddari gangguan persepsi dan hubungan dengan derajat ketidakmampuan
Menentukan bantuan untuk individu dalam menyusun rencana perawatan atau pemilihan intervensi
Identifikasi arti dari kehilangan atau disfungsi pada klien
Beberapa klien dapat menerima dan mengatur perubahan fungsi secara efektif dengan  sedikit penyesuaian diri. Sementara klien yang lain mempunyai kesulitan mengenal dan mengatur kekurangan
Anjurkan klien untuk mengekspresikan perasaan termasuk permusuhan dan kemarahan
Menunjukkan penerimaan, membantu klien untuk mengenal dan mulai menyesuaikan dengan perasaan tersebut.
Catat ketika klien menyatakan pertanyaan pengakuan terhadap penolakan tubuh, seperti sekarat atau menginkari dan menyatakan ingin mati
Mendukung penerimaan, membantu klien untuk mengenal dan mulai menyesuaikan dengan perasaan tersebut
Ingatkan kembali fakta kejadian tentang realita bahwa masih dapat menggunakan sisi yang sakit dan belajar mengontrol sisi yang sehat
Membantu klien untuk melihay bahwa perawt menerima kedua bagian sebagai bagian dari seluruh tubuh. Membiarkan klien untuk merasakan adanya harapan dan mulai meneriama situasi.
Bantu dan anjurkan perawatan yang baik dan memperbaiki kebiasaan
Membantu meningkatkan perasaan harga diri dan mengendalikan lebih dari satu area kehidupan.
Anjurkan orang yang terdekat untuk mengijinkan klien melakukan sebanyk-banyaknya hal-hal untuk dirinya
Menghidupkan kembali perasaan kemandirian dan membantu perkembangan harga diri serta mempengaruhi proses rehabilitasi.
Dukung perilaku atau usaha seperti peningkatan minat atau partisipasi dalam aktivitas rehabilitasi
Meningkatkan kemandirian untuk membantu pemenuhan kebutuhan fisik dan menunjukkan posisi untuk lebih aktif dalam kegiatan social
Monitor gangguan tidur peningkatan konsentrasi, letargi dan menarik diri
Dapat mengindikasi terjadinya depresi umumnya terjadi sebagai pengaruh dari stroke, ketika intervensi dan evaluasi lebih lanjut diperlukan.
Kolaborasi : rujuk pada ahlli neuropsikologi dan konselinh bila ada indikasi.
Dapat memfasilitasi perubahan peran yang penting untuk perkembangan perasaan.

2.12 Pendidikan Klien dan Pertimbangan Perawatan di Rumah
·    Banyak klien Guallain-Barre Syndrome mengalami pemulihan yang sempurna dalam beberapa minggu atau bulan
·    Klien-klien yang pernah mengalami paralisis total atau lama mungkin membutuhkan beberapa tipe rehabilitasi yang dilakukan terus setelah keluar dari rumah sakit.
·    Program yang luas bergantung pada pengkajian yang dibutuhkan dibuat oleh anggota tim kesehatan
·    Alternative program yang komprehensif bagi klien jika dikurangi adalah penting dan dukungan social dibatasi untuk program di rumah terhadap terapi fisik dan okupasi.
·    Fase pemulihan mungkin lama dan akan membutuhkan kesabaran serta keterlibatan pihak klien dan keluarga untuk mengembalikan kemampuan sebelumnya.
·    Awitan akut dan perkembangan yang dramatic dari gejala-gejala yang ada tidak dapat dilakukan penyelesaiannya dengan tiba-tiba dalam mengubah fungsi-fungsi
·    Kelompok pendukung GBS menawarkan kedua informasi dan berinteraksi dengan kelompok yang dapat membantu selama fase pemulihan.
























BAB III
                                                         PENUTUP


3.1    Kesimpulan

Sindrom Guillain-Barre (SGB) adalah sindrom klinis yang ditunjukkan oleh onset akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit yang termasuk demielinasi dan degenerasi selaput myelim dari saraf perifer dan kranial (Ariani, 2012).
Pada SGB, selaput myelin yang mengelilingi akson hilang. Selaput myelin cukup rentan terhadap cedera karena banyak agen dan kondisi, termasuk trauma fisik, hipoksemia, toksik kimia, insufisiensi vascular, dan reaksi imunologi. Demielinasi adalah respon umum dari jaringan saraf terhadap banyak kondisi yang merugikan ini (Ariani, 2012).
Pengkajian perawtan klien dengan GBS meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostic, dan pengkajian psikososial (Muttaqin,2008).














DAFTAR PUSTAKA


Ariani, Tutu A, Sistem Neurobehaviour. Salemba Medika. Jakarta:2012
Corwin, Elizabeth J, Buku Ajar Patofsiologi. EGC. Jakarta:2009.
Ginsberg, Lionel. Lecture Notes Neurologi. Erlangga. 2008
Muttaqin, Arif. Pengantar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Persarafan. Salemba Medika. Jakarta:2008.
Muttaqin, Arif. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Persarafan. Salemba Medika. Jakarta:2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar