BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sindrom Guillain-Barre (SGB) adalah sindrom klinis yang
ditunjukkan oleh onset akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan
kranial. Proses penyakit yang termasuk demielinasi dan degenerasi selaput
myelim dari saraf perifer dan kranial (Ariani, 2012).
JAKARTA, KOMPAS.com
Menurut Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(PERDOSSI) Cabang Jakarta dr. Darma Imran, SpS (K), data RSCM pada akhir tahun
2010-2011 tercatat ada 48 kasus GBS dalam satu tahun dengan berbagai variannya.
"Dibandingkan tahun sebelumnya memang terjadi peningkatan sekitar 10
persen," ucapnya saat acara jumpa pers, Jumat, (13/4/2012), di Jakarta.
Angka kejadiannya kurang lebih sekitar antara 0,5 sampai 1,5
setiap 100.000 penduduk dan ini angkanya hampir sama di seluruh negara, baik
pada negara maju atau berkembang. Kasus GBS umumnya cenderung lebih banyak
terjadi pada pria ketimbang wanita.
1.2 Rumusan Masalah
Apa
yang dimaksud dari Duallain-BarreSyndrome?
Bagaimana
patofisiologi dar Guillain-Barre Syndrome?
Bagaimana
asuhan keperawatan pada klien Guillain-Barre Syndrome?
1.3 Tujuan
Dapat
mengetahui deskripsi tentang Guallain-Barre Syndrome
Dapat
menjelaskan patofisiologi dari Guallain-Barre Syndrome
Dapat
membuat asuhan keperawatan pada klien Guallain-Barre Syndrome
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindrom Guillain-Barre (SGB) adalah sindrom klinis yang
ditunjukkan oleh onset akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan
kranial. Proses penyakit yang termasuk demielinasi dan degenerasi selaput
myelim dari saraf perifer dan kranial (Ariani, 2012).
Sindrom Guillain-Barre terjadi dengan frekuensi yang sama
pada kedua jenis kelamin dan pada semua ras. Puncak yang agak tinggi terjadi
pada kelompok usia 16-25 tahun, tetapi mungkin juga perkembangan setiap
golongan usia. Sekitar setengah dari korban mempunyai penyakit febris ringan
2-3 minggu sebelum onset. Infeksi febris biasanya berasal dari pernapasan atau
gastrointestinal (Ariani, 2012).
Sindrom Guillain-Barre adalah penyakit system saraf perifer
yang ditandai dengan awitan mendadak paralisis atau paresis oto. Sindrom
Guillain-Barre terjadi akibat serangan otoimun pada myelin yang membungkus
saraf perifer. Dengan rusaknya myelin, akson dapat rusak. Gejala SGB menghilanh
saat serangan otoimun berhenti dan akson mengali regenerasi. Apabila kerusakan
badan sel terjadi selam serangan, beberapa derajat disabilitas dapat tetap
terjadi. Walaupun penyebab SGB tidak diketahui, penyakit ini biasanya terjadi
1-4 minggu setelah infeksi virus atau imunisasi (Corwin,2009).
Otot estermitas bawah biasanya terkena pertama kali, dengan
paralisis yang berkembang kea ta tubuh. Otot pernapasan dapat terkena, yang
menyebabkan kolabs pernapasan. Fungsi kardiovaskuler dapat terganggua karena
gangguan fungsi saraf otonom (Corwin,2009).
2.2 Etiologi
Penyebab belum diketahui, tetapi respon alergi atau respon
autoimun sangat mungkin sekali. Beberapa peneliti berkeyakinan bahwa syndrome
tersebut mempunyai asal virus, tetapi yidak ada virus yang dapat diisolasi
sejauh ini (Ariani,2012).
Mekanisme
patogenik mencakup demielinasiasi inflamasi dengan berbagai kerusakan akson
pada system saraf perifer. Proses outoimun diperkirakan dipicu oleh berbagai
agen(Ginsberg,2008).
Virus
|
Sitomegalivirus, virus Epstein-Barr, HIV
|
Bakteri
|
Mycoplasma pneumonia, Campylobacter jejuni
|
Vaksin
|
Contohnya untuk influenza babi
|
2.3 Manifestasi Klinis
Falsid, simetris dan paralisis asending dengan cepat
berkembang. Otot pernapasan dapat saja terkena sehingga mengakibatkan insufisiensi
pernapasan (Ariani,2012).
Gangguan otonomi seperti retensi urine dan hipotensi postural
kadang terjadi. Reflek-reflek superfisial dan tendon dalam dapat hilang.
Biasanya tidak terjadi kehilangan massa otot karena paralisis flasid dengan
cepat. Ada pasien yang mengalami nyeri tekan dan nyeri pada tekanan dalam atau
gerakan beberapa otot (Ariani, 2012).
Gejala-gejala paratesia termasuk semutan “jarum dan peniti”
dan kebas dapat terjadi secara sementara. Jika saraf kranial terkena, maka
saraf fasial (VII) lebih sering terserang. Tanda-tanda dan gejala- gejala
disfungsi saraf fasial termasuk ketidak mampuan untuk tersenyum, bersiul, dan
cemberut. Guillan-Barre tidak mengenai LOC (tingkat kesadaran), tanda-tanda
pupil, atau fungsi serebral(Ariani,2012).
Gejala-gejala biasanya memuncak dalam satu minggu, tetapi
dapat berkembang selama beberapa minggu. Tingkat paralisis dapat saja berhenti
setiap saat. Fungsi motoric kembali dalam gaya desending. Demielinisiasi
terjadi dengan cepat, tetapi kecepatan remielinisasinya hanya sekitar 1-2
mm/hari (Ariani, 2012).
2.4 Patofisiologi
Pada SGB, selaput myelin yang mengelilingi akson hilang.
Selaput myelin cukup rentan terhadap cedera karena banyak agen dan kondisi,
termasuk trauma fisik, hipoksemia, toksik kimia, insufisiensi vascular, dan
reaksi imunologi. Demielinasi adalah respon umum dari jaringan saraf terhadap
banyak kondisi yang merugikan ini (Ariani, 2012).
Akson bermyelin mengonduksi impuls saraf lebih cepat
dibanding akson tidak bermyelin. Sepanjang perjalanan serabuut bermyelin
terjadi gangguan dalam selaput (nodus Ranvier) tempat kontak langsung antara
membrane sel akson dengan cairan ekstraseluler. Membran pada nodus sangat
permeable sehingga konduksi menjadi baik. Gerakan ion-ion masuk dan keluar akson
dapat terjadi dengan cepat hanya pada nodus Ranvier sehingga impuls saraf
sepanjang serabut bermyelin dapat melompat dari satu nodus ke nodus lain
(konduksi saltatori) dengan cukup kuat. Kehilangan selaput myelin pada sindrom
Guillain-Barre membuat koneksi saltatori tidak mungkin terjadi dan transmisi
impuls saraf dibatalkan (Ariani,2012).

2.5 Komplikasi
2.5.1 Gagal Pernapasan
Komplikasi
yang paling berat dari SGB adalah gagal napas. Melemahnya otot pernapasan
membuat pasien dengan gangguan ini berisiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi
dan infeksi pernapasan berulang. Disfasgia juga dapat timbul, mengarah pada
aspirasi. Mungkin terdapat komplikasi yang sama tentang imobilitas seperti yang
terdapat pada korban stroke.
2.5.2 Penyimpangan Kardiovaskuler
Mungkin terjadi gangguan system saraf otonom pada pasien SGB
yang dapat mengakibatkan disritmia jantung atau perubahan drastic dalam
tanda-tanda vital yang dapat mengancam kehidupan.
2.5.3 Komplikasi Plasmaferesis
Pasien dengan SGB yang menerima plasmaferesis berisiko
terhadap potensial komplikasi karena prosedur tersebut. Infeksi mungkin terjadi
pada tempat akses vascular. Hipovolemi dapat mengakibatkan hipotensi, takikardia,
pening dan diforesis. Hipovolemia dan hipokalsemia dapat mengarah pada
disritmia jantung. Pasien dapat mengalami sirkumolar temporer dan paresis
ekstremitas distal, kedutan otot, dan mual serta muntah yang berhubungan dengan
pemberian plasma sitrat. Pengamatan dengan cermat dan pengkajian penting untuk
mencegah masalah-masalah ini (Ariani,2012).
2.6 Penatalaksanaan
Tujuan utama dalam merawat pasien dengan SGB adalah untuk
memberiakn pemeliharaan fungsi system tubuh, dengan cepat mengatasi
krisis-krisis yang mengancam jiwa, mencegah infeksi dan komplikasi imobilitas,
dan memberikan dukungan psikologis untuk pasien dan keluarga.
2.6.1 Dukungan Pernapasan dan Kardiovaskuler
Jika dukungan askular pernapasan terkena, maka mungkin
dibutuhkan ventilasi mekani. Mungkin perlu dilakukan trakeostomi jika pasien
tidak dapat disapih dari ventilator dalam beberapa minggu. Gagal pernapsan
harus diantisipasi sampai kemajuan gangguan merata karena tidak jelas sejauh
apa paralisis akan terjadi (Ariani,2012).
Jika system otonom yang terkena, maka akan terjadi
perubahan drastic dalam tekanan darah (hipotensi dan hipertensi) serta
frekuensi jantung akan terjadi. Oleh karena itu, pasien harus dipantau dengan
ketat. Pemantauan jantung akan memungkinkan disritmia teridentifikasi dan
diobati dengan cepat. Gangguan system saraf otonom dapat dipicu oleh valsavah
maneuver, batuk, penghisapan, dan perubahan posisi sehingga aktivitas-aktivitas
ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
2.6.2 Plasmaferesis
Plasmaferesis dapat digunakan untuk SGB untuk menyingkirkan
antibody yang membahayakan dari
plasma.plasma pasien dipisahkan secara selektif dari darah lengkap, dan bahan-
bahanabnormal dibersihkan. Atau plasma diganti dengan pengganti koloidal.
Banyak pusat pelayanan kesehatan mulai melakukan penggantian plasma ini jika
didapai keadaan pasien memburuk dan kemungkinan tidak akan dapat pulang kerumah
dalam 2 minggu, mendekati waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proses penggantian plasma. Jika plasmaferesis
dimulai 3 minggu atau lebih lama setelah onset gejala, tampaknya tindakan ini tidak efektif. Mungkin digunakan
kortikosteroid, meskipun penggunaan ini masih kontroversial.
2.6.3 Nyeri
Penatalaksanaan nyeri dapat menjadi bagian dari perhatian
pada pasien dengan SGB. Nyeri otot hebat biasanya menghilang sejalan dengan
pulihnya kekuatan otot. Unit stimulasi listrik transkutan dapat berguna pada
beberapa obat dapat memberikan penyembuhan sementara. Nyeri biasanya memburuk
antar pukul 10 malam dan 4 pagi, mencegah tidak tidur, dan narkotik dapat saja
digunakan secara bebas pada malam hari jika pasien tidak mengkompensasi secara
marginal karena narkotik dapat meningkatkan gagal pernapasan. Dalam kasus ini,
pasien biasanya diintubasi dan kemudian diberikan narkotik (Ariani, 2012).
2.6.4 Nutrisi
Nutrisi yang adekuat harus dipertahankan. Jika pasien tidak
mampu untuk makan per oral, dapat dipasang selang per oral. Selang makan,
bagaimanapun, dapat menyebabkan diare dan menyebabkan ketidakseimbangan
elektrolit, jadi dibutuhkan pemantauan dengan cermat oleh dokter dan perawat
(Ariani, 2012).
2.6.5 Gangguan Tidur
Gangguan tidur dapat menjadi masalah berat untuk pasien
dengan gangguan ini, terutama karena nyeri tampak meningkat pada malam hari.
Tindakan yang memberikan kenyamanan, analgesic, dan control lingkungan yang
cermat (misalnya: mematikan lampu, memberikan suasana ruangan yang tenang)
dapat membantu untuk meningkatkan tidur dan istirahat. Selain itu, juga harus
selalu diingat bahwa pasien yang mengalami paralisis dan mungkin pada ventilasi
mekanik dapat sangat ketakutan sendiri pada malam hari, karena ketakutan tidak
mampu mendapat bantuan jika ia mendapat masalah. Harus disediakan cara atau
lampu pemanggil sehingga pasien mengetahui bahwa ia dapat meminta bantuan.
Membuat jadwal rutin pemeriksaan pasien juga dapat membantu mengatasi ketakutan
(Ariani, 2012).
2.6.6 Dukungan Emosional
Ketakutan, ketidakpuasan dan ketidakberdayaan semua dapat
terlihat pada pasien dan keluarga sepanjang terjadinya ganggguan. Penjelasan
yang tertur tentang intervensi dan kemajuan dapat sangat berguna. Pasien harus
diperlukan untk membuat keputusan sebanyak mungkin sepanjang perjalanan
pemulihan (Ariani,2012).
Kadang pasien seperti sangat sulit untuk dirawat karena
mereka membutuhkan banyak waktu perawat. Mereka menggunakan bel pemanggil
secara berlebih jika merasa tidak aman, mengetahui bahwa ada seseorang yang
dapat menjadi sumber informasi dengan konsisten. Pertemuan tim dengan pasien
dan keluarga harus dilakukan secara rutin untuk membicarakan kemajuan dan
rencana-rencana (Ariani,2012).
2.7 Pengkajian
Pengkajian perawtan klien dengan GBS meliputi anamnesis
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostic, dan pengkajian
psikososial (Muttaqin,2008).
Pengkajian terhadap komplikasi GBS meliputi pemantauan
terus-menerus terhadap ancaman gangguan gagal napas akut yang mengancam
kehidupan. Komplikasi lain mencakup disritmia jantung, yang terlihat memulai
pemantauan EKG dan mengobservasi klien terhadap tanda thrombosis vena provunda
dan emboli paru, yang sering mengancam klien imobilitas dan paralisis
(Muttaqin,)
2.7.1 Anamnese
Keluhan utama yang sering menjadi alas an klien meminta
pertolongan kesehatan adalah berhubungan dengan kelemahan otot baik kelemahan
fisik secara umum maupun lokalis seperti melemahnya otot-otot pernapasan
(Muttaqin,2008).
2.7.2 Keluhan Utama
Sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan
berhubungan dengan kelemahan otot baik kelemahan fisik secara umum mupun
seperti melemahnya otot-oto pernapasan (Muttaqin,2008).
2.7.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Factor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena
menunjang keluhan utama klien. Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang timbul
seperti mulai kapan serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada pengkajian
klien Guillain-Barre syndrome (GBS) biasanya didapatkan keluhan yang behubungan
dengan proses demielinasiasi. Keluhan tersebut diantaranya gejala-gejala
neurologis diawali dengan parestesia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot kaki,
yang dapat berkembang ke ekstermitas atas, batng tubuh dan otot wajah.
Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang tepat.
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan
merupakan komplikasi yang paling berat dari GBS adalah gagal napas. Melemahnya
otot pernapasan membuat klien dengan gangguan ini berisiko lebi tinggi terhadap
hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang. Disfagia juga dapat timbul,
mengarah pada aspirasi. Keluhan kelemahan ekstermitas atas dan bawah hampir
sama seperti keluhan klien yang terdapat pada klien stroke. Keluhan lainnya
adalah kelainan dari fungsi kardivaskuler, yang memungkinkan terjadinya
gangguan system saraf otonom pada klien GBS yang dapat mengakibatkan disritmia
jantung atau perubahann drastic yang dapat mengancam kehidupan dalam tanda-tanda
vital (Muttaqin,2008).
2.7.4 Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya
hubungan atau menjadi predisposisi keluhan utama sekarang meliputi pernahkah
klien mengalami ISPA, infeksi gastrointestinal. Dan tindakan bedah saraf.
Pengkajian pemakaian obat-obatan yang sering digunakan klien,
seperti pemakaian obat kortikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotic dan
reaksinya (untuk menilai resisten pemakaian antibiotik) dapat menambah
komprehensif pengkajian. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari
jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya (Muttaqin, 2008).
2.7.5 Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien GBS meliputi beberapa penilaian
yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status
emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan
klien juga penting untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta
respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul
ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktvitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan
citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme kopin yang secara sadar biasa
digunakan klien selama masa stress meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan
masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan perubahan perilaku akibat
stress.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan
ini memberi dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan
pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit. Perawat juga memasukkan
pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang
akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif perawatan dalam mengkaji
terdiri dari dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh deficit
neurologis dalam hubungannya dengan peran social klien dan rencana pelayanan
yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis di dalam system dukungan
indivisu (Muttaqin, 2008).
2.7.6 Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamsesis yang mengarah pada
keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk endukung data
dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sisten
(B1-B6) dengan focus pemerikasaan fisik pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
Pada klien GBS biasanya didapatkan suhu tubuh normal.
Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-tanda penurunan curah
jantung. Peningkatan frekuensi pernapasan berhubungan dengan peningkatan laju
metabolisme umum dan adanya infeksi pada system pernapasan dan adanya akumulasi
secret akibat insufisiensi pernapasan. TD didapatkan ortostatik hipotensi atau
TD meningkat (hipertensi transien) berhubungan dengan penurunan reaksi saraf
simpatis dan parasimpatis (Muttaqin, 2008).
1. B1 (Breatiing)
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum,
sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan
karena infeksi saluran pernapasan dan yang paling sering didapatkan pada klien
GBS adalah penurunan frekuensi pernapasan karena melemahnya fungsi otot-otot
pernapasan. Palpasi biasanya taktik premitus seimbang kanan dan kiri.
Auskultasi bunyi napas tambahan seperti rokhi pada klien dengan GBSA
berhubungan akumulasi secret dari infeksi saluran napas (Muttaqin, 2008).
2. B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskular pada klien GBS
didapatkan bradikardi yang berhubungan dengan penurunan perfusi perifer. TD
didapatkan ortostatik hipotensi atau TDA meningkat (hipertensi transien)
berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis (Muttaqin,
2008).
3. B3 (Brain)
Pengkajian B3 merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada system lainnya (Muttaqin, 2008).
2.7.7 Tingkat Kesadaran
Pada GBS biasanya kesadaran lien compos mentis (CM). apabila
klien, memgalami penurunan tingkat kesadaran maka penilaian GCS sangat penting
untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk monitoring
pemberian asuhan (Muttaqin, 2008).
2.7.8 Fungsi Serebri
Status mental:
observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilainya gaya bicara klien dan
observasi ekpresi wajah, dan aktivitas motoric yang pada klien GBS tahap lanjut
disertai penurunan tingkat kesadaran biasanya status mental klien mengalami
(Muttaqin, 2008).
2.7.9 Pemeriksaan Saraf Kranial
Saraf
I. biasanya pada klien GBS tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak
ada kelainan
Saraf
II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Saraf
III, IV, dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan menutup kelopak mata,
paralisis ocular.
Saraf
V. Pada klien GBS didapatkan paralisis pada otot wajah sehingga mengganggu
proses mengunyah.
Saraf
VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena adanya
paralisis unilateral.
Saraf
IX dan X. Paralisis otot orofaring, kesukaran berbicara, mengunyah, dan
menelan. Kemampuan menelan kurang baik sehingga menggangggu pemenuhan nutrisi
via oral.
Saraf
XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomatoideus dan trapezius. Kemampuan
mobilisasi leher baik.
Saraf
XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan normal (Muttaqin, 2008).
2.7.10 Sistem Motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi
pada klien GBS tahap lanjut mengalami perubahan. Klien mengalami kelemahan
motoric secara umum sehingga mengganggu meobilisasi (Muttaqin, 2008).
2.7.11 Pemeriksaan Refleks
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum,
atau periosteum dan derajat reflex pada respon normal.
Gerakan
involunter. Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, tic dan dystonia(Muttaqin,
2008)
.
2.7.2 Sistem Sensorik
Parestesia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot kaki,yang
dapat berkembang ke ekstermitas atas,batang tubuh, dan otot wajah. Klien
mengalami penurunan kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu
(Muttaqin, 2008).
1. B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada system kandung kemih biasanya didapatkan
berkurangnya volume haluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan
perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal (Muttaqin,2008).
2. B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengna peningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien GBS menurun karena anoreksia dan
kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan
pemenuhan via oral menjadi berkurang (Muttaqin, 2008).
3. B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran
menurunkan mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari
klien lebih banyak dibantu oleh orang lain (Muttaqin, 2008).
2.8 Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis GBS sangat bergantung pada riwayat penyakit dan perkembangan
gejala-gejala klinik dan tidak ada satu pemeriksaan pun yang dapat memastikan
GBS; pemerksaan tersebut hanya menyingkirkan dugaan gangguan.
Lumbal pungsi dapat menunjukkan kadar protein normal pada
awalnya dengan kenaikan pada 4 minggu sampai ke 6. Cairan spinal memperlihatkan
adanya peningkatan konsentrasi protein dengan menghitun jumlah sel normal.
Sekitar
25%orang dengan penyakit ini mempunyai antibody baik terhadap sitomegalovirus
atau virus Epstein-Barr. Te;ah dirujukkan bahwa suatu peruhanan respon imun
pada antigen saraf perifer dapat menunjang perkembangan gangguan (Muttaqin,
2008).
Diagnosis
GBS sangat bergantung pada:
- Riwayat penyakit dan perkembangan gejala-gejala klinik.
- Pemeriksaan konduksi saraf mencatat transmisi impuls sepanjang serabut saraf. Pengujian elektrofisiologis diperlihatkan dalam bentuk lambatnya laju konduksi saraf.
- Uji fungsi pulmonal dapat dilakukan jika GBS terduga, sehingga dapat ditetapkan nilai dasar untuk perbandingan sebagai kemajuan penyakit. Penurunan kapasitas fungsi pulmonal dapat menunjukkan kebutuhan akan ventilasi mekanik (Muttaqin, 2008).
2.9 Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama merawat klien dengan GBS adalah memberikan
pemeliharaan fungsi system tubuh, dengan cepat mengatasi krisis-krisis yang
mengancam jiwa. Mencegah infeksi dan komplikasi imobilitas serta memberikan
dukungan psikologi untuk klien dan keluarga.
GBS
dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan klien diatasi di unit perawatan
intensif. Klien yang menalami masalah pernapasan yang memerlukan ventilator,
kadang-kadang untuk periode yang lama. Plasma feresis (perubahan plasma) yang
menyebabkan reduksi antibiotic ke dalam sirkulasi sementara, yang dapat digunakan pada serangan berat dan
dapat membatasi keadaan yang memburuk pada klien demielinisasi. Diperlukan
pemantauan EKG kontinu, unuk kemungkinan
adanya perubahan kecepatan atau ritme jantung. Disritmia jantung disebabkan
keadaan abnormal otonom yang diobati dengan propranolol untuk mencegah
takikardia dan hipertensi. Atropine dapat diberikan untuk menghindari episode
bradikardia selama pengisapan endotrakeal dan terapi fisik (Muttaqin, 2008).
2.10 Diagnosis Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan progessif
cepat otot-otot pernapasan dan ancaman gagal napas
2. Ketidakefektivan bersihan jalan napas berhubungan dengan
akumulasi secret, kemampuan batuk menurun akibat penurunan kesadaran
3. Risiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan
perubahan frekuensi, irama dan konduksi listrik jantung
4. Risiko deficit cairan dan hipovolemik
5. Risiko gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan mengunyah dan menelan makanan
6. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
neuromuscular, penurunan kekuatan otot, dan penurunan kesadaran
7. Cemas berhubungan dengan sakit dan prognosis penyakit yang buruk
8. Koping individu dan keluarga tidak efektif berhubungan dengan
prognosis penyakit, perubahan psikososial, perubahan persepsi kognitif,
perubahan actual dalam struktur dan fungsi, ketidakberdayaan, dan merasa ada
harapan
2.11 Rencana Asuhan Keperawatan
Tujuan utama asuhan keperawatan klien mencakup mempertahankan
fungsi pernapasan, mencapai mobilitas, terpenuhinya kebutuhan nutrisi normal,
mampu berkomunikasi, menurunnya ketakutan dan ansietas, dan tidak ada
komplikasi.
1. Pola napas tidak efektif b.d kelemahan progresif cepat otot-otot
pernapasan dan ancaman gagal pernapasan
Tujuan
: dalam waktu 3x24 jam setelah dilakukan tindakan pola napas kembali efektif
Kriteria
hasil:
Subyektif:
pasien mengatakan mampu bernapas dengan baik
Obyektif
: sesak napas (-), RR 16-20x/mnt, tidak menggunakan otot bantu napas, gerakan
dada normal
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas tambahan,
perubahan irama dan kedalaman, penggunaan otot-otot aksesori.
|
Menjadi bahan parameter monitoring serangan gagal
napas dan menjadi data dasar
intervensi selanjutnya.
|
Evaluasi keluhan sesak napas baik secara verbal dan
non verbal.
|
Tanda dan gejala adanya kesukaran bernapas saat
bicara, pernapasan dangkal dan irregular, menggunakan otot-otot aksesori,
takikardia, dan perubahan pola napas.
|
Beri ventilasi mekanik
|
Ventilasi mekanik digunakan jika pengkajian sesuai
kapasitas vital, klien memperlihatkan perkembangan kea rah kemunduran, yang
mengindikasi kea rah memburuknya kekuatan otot-otot pernapasan.
|
Lakukan pemeriksaan kapasitas vital pernapasan
|
Kapasitas vital klien dipantau lebih sering dan
dengan interval yang teratur dalam penambahan kecepatan pernapasan dan
kualitas pernapasan, sehingga pernapasan yang tidak efektif dapat
diantisipasi. Penurunan kapasitas vital dihubungkan dengan kelemahan
otot-otot yang digunakan saat menelan, sehinggahal ini menyebabkan kesukaran
saat batuk dan menelan, dan adanya indikasi memburuknya fungsi pernapasan.
|
Kolaborasi;
Pemberian humidifikasu oksigen 3l/mnt
|
Membantu pemenuhan oksigen yang sangat diperlukan
tubuh dengan kondisi laju metabolisme sedang meningkat.
|
2. ketidakefektivan bersihan jalan napas b.d akumulasi secret,
kemampuan batuk menurun akibat penurunan kesadaran
Tujuan
: dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan jalan napas kembali efektif
Kriteria
hasil:
Subyektif
: pasien mengatakan batuknya sudah tidak mengeluarkan secret
Obyektif
: sesak napas (-), RR 16-20x/mnt, tidak menggunakan otot bantu napas, retraksi
ICS (-), ronkhi (-/-), mengi (-/-), dapat mendemonstrasikan cara batuk efektif.
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas tambahan,
perubahan irama dan kedalaman, penggunaan otot-otot aksesori, warna dan
kekentalan sputum.
|
Memantau dan mengatasi komplikasi potensial.
Pengkajian fungsi pernapasan dengan interval yang teratus adalah penting
karena pernapasan yang tidaka efektif dan adanya kegagalan, karena adanya
kelemahan atau paralisis pada otot-otot intercostal dan diafragma yang
berkembang dengan cepat.
|
Atur posisi fowler dan semifowler
|
Peninggian kepala tempat tidur memudahkan
pernapasan, meningkatkan ekspansi dada dan meningkatkan batuk lebih efektif.
|
Ajarkan cara batuk efektif
|
Klien berada pada risiko tinggi bila tidak dapat
batuk dengan efektif untuk membersihkan jalan napas dan mengalami kesulitan
dalam menelan, yang dapat menyebabkan aspirasi saliva dan mencetuskan gagal
napas akut.
|
Lakukan fisioterafi dada;vibrasi dada
|
Terapi fisik dada membantu meningkatkan batuk lebih
efektif.
|
Penuhi hidrasi cairan via oral seperti minum air
putih dan pertahankan intake cairan 2500ml/hari.
|
Pemenuhan cairan dapat mengenncerkan mucus yang
kental dan dapat membantu pemenuhan cairan yang banyak keluar dari tubuh.
|
Lakukan pengisapan lender di jalan napas.
|
Pengisapan mungkin diperlukan untuk mempertahankan
kepatenan jalan napas menjadi bersih.
|
3. Risiko tinggi penurunan curah jantung b.d perubahan frekuensi,
irama dan konduksi listrik jantung
Tujuan
: penurunan curah jantung tidak terjadi.
Kriteria
hasil :
Subyektif:
pasien mengatakan merasa lebih nyaman
Obyektif
: stabilitas hemodinamik baik (tekanan darah dalam batas normal, curah jantung
kembali meningkat,intake dan output sesuai, tidak menunjukkan tanda-tanda
disritmia).
Intervensi
|
Rasional
|
Auskultasi TD, bandingkan kedua lengan, ukur dalam
keadaan berbaring, duduk, atau berdiri bila memungkinkan
|
Hipotensi dapat terjadi sampai dengan disfungsi
ventrikel, hipertensi juga fenomena umum karena nyeri cemas pengeluaran
katekolamin.
|
Evaluasi kualitas dan kesamaan nadi.
|
Penurunan curah jantung mengakibatkan menurunnya
kekuatan nadi
|
Catat mumur.
|
Menunjukkan gangguan aliran darah dalam jantung,
(kelainan katup, kerusakan septum, atau vibrasi otot papilar).
|
Pantau frekuensi jantung dan irama
|
Perubahan frekuensi dan irama jantung menunjukkan
komplikasi disritmia.
|
Kolaborasi
Berikan O2, tambahan sesuai indikasi.
|
Oksigen yang dihirup akan langsung meningkatkan
saturasi oksigen darah.
|
4. Risiko deficit cairan dan hipovolemik
Tujuan
: setelah dirawat selama 3 hari klien tidak terjadi komplikasi akibat penurunan
asupan nutrisi
Kriteria
hasil :
Subyektif:
pasien mengatakan lebih segar
Obyektif
: makan 3x sehari,
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji kemampuan klien dalam pemenuhan nutrisi oral.
|
Perhatian yang diberikan untuk nutrisi yang adekuat
dan pencegahan kelemahan otot karena kurang makanan
|
Monitor komplikasi akibat paralisis akibat
insufisiensi aktivis parasimpatis
|
Illus paralisis dapat disebabkan oleh insufisiensi
aktivitas parasimpatis. Dalam kejadian ini makanan melalui intravena
dipertimbangkan diberikan diberikan oleh dokter dan perawat memantau bising
usus sampai terdengar.
|
Berikan nutrisi via NGT
|
Jika klien tidak mampu menelan, makanan diberikan
melalui selang lambung.
|
Berikan nutrisi via oral bila paralisis menelan berkurang
|
Bila klien dapa menelan, makanan melalui oral
diberikan perlahan-lahan dan sangat hati-hati.
|
5. Risiko gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d
ketidakmampuan mengunyah dan menelan makanan
Tujuan
: setelah perawatan 3hari lien tidak terjadi ko,plikasi dan nutrisi terpenuhi
Kriteria
hasil :
Subyektif
: klien mengatakan badannya terasa segar
Obyektif
: BB dsb, nafsu stabil
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji kemampuan klien dalam pemenuhan nutrisi oral.
|
Perhatian yang diberikan untuk nutrisi yang adekuat
dan pencegahan kelemahan otot karena kurang makanan
|
Monitor komplikasi akibat paralisis akibat
insufisiensi aktivitas parasimpatis
|
Ilius paralisis dapat disebabkan oleh insufisiensi
aktivitas parasimpatis. Dalam kejadian ini, makanan melalui intravena
dipertimbangkan diberikan oleh dokter dan perawat memantau bising usus dampai
terdengar
|
Berikan nutrisi via NGT
|
Jika klien tidak mampu menelan, makanan diberikan
melalui selang lambung
|
Berikan nutrisi via oral bila paralisis menelan
berkurang
|
Bila klien dapat menelan, makanan melalui oral
diberikan perlahan-lahan dan sangat hati-hati.
|
6. Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular, penurunan
kekuatan otot, dan penurunan kesadaran
Tujuan
: dalam waktu 3x24 jam setalh dilakukan tindakan mobilitas klien meningkat atau
teradaptasi.
Kriteria
hasil:
Subyektif
: pasien mengatakan sudah dapat beraktivtas
Obyektif
: peningkatan kemampuan, tidak terjadi thrombosis vena provunda dan emboli paru
dan tidak terjadi decubitus
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji tingkat kemampuan klien dalam melakukan
mobilitas fisik
|
Merupakan dasar untuk melakukan intervensi
selanjutnya
|
Dekatkan alat dan sarana yang dibutuhkan klien
dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari
|
Bila pemulihan mulai untuk dilakukan, klien dapat
mengalami hipotensi ortostik(dari disfungsi otonom) dan kemungkinan
membutuhkan meja tempat tidur untuk menoong mereka mengambil posisi dusuk
tegak.
|
Hindari factor yang memungkinkan terjadinya trauma
pada saat klien melakukan mobilisasi
|
Individu paralisis mempunyai kemungkinan mengalami
kompresi neuropati, paling sering saraf ulnar dan peritoneal. Bantalan dapat
di tempatkan di siku dan kepala fibula
untuk mencegah terjadinya masalah ini.
|
Sokong ekstermitas yang mengalami paralisis
|
Ekstermitas paralisis disokong dengan posisi
fungsional dan memberikan pelatihan rentang gerak secara pasif paling sedikit
dua kali sehari.
|
Monitor komplikasi gangguan mobilitas fisik
|
Deteksi awal thrombosis vena profunda dan decubitus
sehingga dengan penemuan yang cepat penanganan lebih mudah dilaksanakan.
|
Kolaborasi dengan tim fisioterapis
|
Kolaborasi dengan ahli terapi fisik untuk mencegah
deformitas kontraktur dengan menggunakan pengubahan posisi yang hati-hati dan
latihan rentang gerak.
|
7. Cemas berhubungan dengan sakit dan prognosis penyakit yang buruk
Tujuan
: dalam watu 1x24 jam setelah dilakukan tindakan kecemasan berkurang
Kriteria
hasil :
Subyektif
: klien mengatakan paham dengan edukasi yang diberikan perawat dan merasa sudah
nyaman
Obyektif
: mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau factor yang
mempengaruhi
Intervensi
|
Rasional
|
Bantu klien mengekspresikan perasaan marah,
kehilangan dan takut
|
Cemas berkelanjutan memberikan dampak serangan
jantung selanjutnya
|
Kaji tanda verbal dan nor verbal kecemasan, damping
klien, dan lakukan tindakan bila menunjukkan perilaku merusak
|
Reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukkan rasa
agrasi, mara dan gelisah.
|
Hindari konfrontasi
|
Konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah,
menurunkan kerja sama, dan mungkin memperlambat penyembuhan
|
Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi
kecemasan. Beri lingkungan tenang dan suasana yang penuh istirahat
|
Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu
|
Tingkatkan control sensasi klien
|
Control sensasi klien (dan dapat menurunkan
ketakutan) dengan cara memberikan informasi tentang keadaan klien, menekankan
pada penghargaan terhadap sumber-sumber koping (pertahan diri), yang positif,
membantu latihan relaksasi, dan teknik-teknik penglihatan dan memberikan
respons balik yang positif
|
Orientasi klien terhadap prosedur rutin dan
aktivitas yang diharapkan
|
Orientasi dapat menurunkan kecemasan
|
Beri kesempatan kepala klien untuk mengungkapkan
kecemasannya
|
Dapat menghilngkan ketegangan terhadap kekhawatirna
yang tidak diekspresikan
|
Berikan privasi untuk klien dan orang terdekat
|
Memberi waktu mengekspresikan perasaan,
menghilangkan cemas, dan membentuk perilaku adaptasi.
Adanya keluarga dan teman-teman yang dipilih klien
melayani aktivitas dan pengihatan (misalnya membaca) akan menurunkan perasaan
terisolasi.
|
8. Koping individu dan keluarga tidak efektif b.d prognosis
penyakit, perubahan psikososial, perubahan persepsi kognitif, perubahan
Tujuan
: dalam waktu 1x24 jam setelah intervensi harga diri klien meningkat
Kriteria
hasil:
Subyektif
: klien mengatakan interaksi dengan orang terdekat semakin membaik
Obyektif
: mampu berkomunikasi dengan orang terdekat tentang situasi dan perubahan yang
sedang terjadi, mampu menyatakan meneriam terhadap situasi, mengakui dan
menggabungkan perubahan ke dalam konsep diri
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji perubahan ddari gangguan persepsi dan hubungan
dengan derajat ketidakmampuan
|
Menentukan bantuan untuk individu dalam menyusun
rencana perawatan atau pemilihan intervensi
|
Identifikasi arti dari kehilangan atau disfungsi
pada klien
|
Beberapa klien dapat menerima dan mengatur
perubahan fungsi secara efektif dengan
sedikit penyesuaian diri. Sementara klien yang lain mempunyai
kesulitan mengenal dan mengatur kekurangan
|
Anjurkan klien untuk mengekspresikan perasaan
termasuk permusuhan dan kemarahan
|
Menunjukkan penerimaan, membantu klien untuk
mengenal dan mulai menyesuaikan dengan perasaan tersebut.
|
Catat ketika klien menyatakan pertanyaan pengakuan
terhadap penolakan tubuh, seperti sekarat atau menginkari dan menyatakan
ingin mati
|
Mendukung penerimaan, membantu klien untuk mengenal
dan mulai menyesuaikan dengan perasaan tersebut
|
Ingatkan kembali fakta kejadian tentang realita
bahwa masih dapat menggunakan sisi yang sakit dan belajar mengontrol sisi
yang sehat
|
Membantu klien untuk melihay bahwa perawt menerima
kedua bagian sebagai bagian dari seluruh tubuh. Membiarkan klien untuk
merasakan adanya harapan dan mulai meneriama situasi.
|
Bantu dan anjurkan perawatan yang baik dan
memperbaiki kebiasaan
|
Membantu meningkatkan perasaan harga diri dan
mengendalikan lebih dari satu area kehidupan.
|
Anjurkan orang yang terdekat untuk mengijinkan
klien melakukan sebanyk-banyaknya hal-hal untuk dirinya
|
Menghidupkan kembali perasaan kemandirian dan
membantu perkembangan harga diri serta mempengaruhi proses rehabilitasi.
|
Dukung perilaku atau usaha seperti peningkatan
minat atau partisipasi dalam aktivitas rehabilitasi
|
Meningkatkan kemandirian untuk membantu pemenuhan
kebutuhan fisik dan menunjukkan posisi untuk lebih aktif dalam kegiatan
social
|
Monitor gangguan tidur peningkatan konsentrasi,
letargi dan menarik diri
|
Dapat mengindikasi terjadinya depresi umumnya
terjadi sebagai pengaruh dari stroke, ketika intervensi dan evaluasi lebih
lanjut diperlukan.
|
Kolaborasi : rujuk pada ahlli neuropsikologi dan
konselinh bila ada indikasi.
|
Dapat memfasilitasi perubahan peran yang penting
untuk perkembangan perasaan.
|
2.12 Pendidikan Klien dan Pertimbangan Perawatan
di Rumah
·
Banyak klien Guallain-Barre
Syndrome mengalami pemulihan yang sempurna dalam beberapa minggu atau bulan
·
Klien-klien yang pernah
mengalami paralisis total atau lama mungkin membutuhkan beberapa tipe
rehabilitasi yang dilakukan terus setelah keluar dari rumah sakit.
·
Program yang luas
bergantung pada pengkajian yang dibutuhkan dibuat oleh anggota tim kesehatan
·
Alternative program yang
komprehensif bagi klien jika dikurangi adalah penting dan dukungan social
dibatasi untuk program di rumah terhadap terapi fisik dan okupasi.
·
Fase pemulihan mungkin lama
dan akan membutuhkan kesabaran serta keterlibatan pihak klien dan keluarga
untuk mengembalikan kemampuan sebelumnya.
·
Awitan akut dan
perkembangan yang dramatic dari gejala-gejala yang ada tidak dapat dilakukan
penyelesaiannya dengan tiba-tiba dalam mengubah fungsi-fungsi
·
Kelompok pendukung GBS
menawarkan kedua informasi dan berinteraksi dengan kelompok yang dapat membantu
selama fase pemulihan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sindrom Guillain-Barre (SGB) adalah sindrom klinis yang
ditunjukkan oleh onset akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan
kranial. Proses penyakit yang termasuk demielinasi dan degenerasi selaput
myelim dari saraf perifer dan kranial (Ariani, 2012).
Pada SGB, selaput myelin yang mengelilingi akson hilang.
Selaput myelin cukup rentan terhadap cedera karena banyak agen dan kondisi,
termasuk trauma fisik, hipoksemia, toksik kimia, insufisiensi vascular, dan
reaksi imunologi. Demielinasi adalah respon umum dari jaringan saraf terhadap
banyak kondisi yang merugikan ini (Ariani, 2012).
Pengkajian perawtan klien dengan GBS meliputi anamnesis
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostic, dan pengkajian
psikososial (Muttaqin,2008).
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, Tutu A, Sistem Neurobehaviour. Salemba
Medika. Jakarta:2012
Corwin, Elizabeth J, Buku Ajar Patofsiologi.
EGC. Jakarta:2009.
Ginsberg, Lionel. Lecture Notes Neurologi. Erlangga.
2008
Muttaqin, Arif. Pengantar Asuhan Keperawatan
dengan Gangguan Sistem Persarafan. Salemba Medika. Jakarta:2008.
Muttaqin, Arif. Buku Ajar Asuhan Keperawatan
dengan Gangguan Sistem Persarafan. Salemba Medika. Jakarta:2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar